KEBIJAKAN PEMERINTAH
UNIVERSITAS GUNADARMA
KELAS
1EB24
Nama
ANGGOTA:
Riana Dwi Astuti ( 26211101 )
Ratri Puspaningrum ( 25211905
)
Sergiyo Richardo ( 26211700 )
Gabriel F. Sihombing (
22211982 )
Achmad Chaq Hidayatullah Zain
( 28211969 )
Islami Arastantia ( 23211728 )
Pujiyanto ( 25211602 )
1.
Kebijakan Pemerintah
a.
Periode 1966-1969
Saya
akan membahas mengenai kebijakan pemerintah mulai Periode 1966-1969 sampai
periode pelita V. Pada periode 1966-1969 Pemerintah lebih memusatkan perhatian
pada kebijakan mengenai proses perbaikan dan penghapusan semua unsur dari
peniggalan pemerintahan orde lama yang mengandung unsur komunisme. Pada masa
ini pemerintah berjuang untuk menekan tingkat inflasi yang tinggi karena
pemerintahan orde lama. Pada periode pelita I perekonomiaan Indonesia sedang
kurang baik, dimana Indonesia sedang mengalami tinggkat pengangguran yang
tinggi. Sementara itu pemerintah menyempurnakan peraturan mengenai Tata Niaga
bidang Eksport dan Import yang mendevaluasi mata uang rupiah terhadap dollar.
Keadaan ini megakibatkan perekomonian kekurangan dana semetara itu perekonomian
didesak untuk mendapatkan dana yang besar untuk investasi agar menambah
lapangan pekerjaan. Periode Pelita III Pemerintah membuat kkebijakan mengenai
tata cara pelaksanaan eksport import dan lalu lintas devisa. Peraturan ini
membuat kemudahan dalam pajak terhadap komodoti eksport dan menerapkan sistem
devaluasi yaitu menurunkan nilai rupih terhadap dollar misalnya satu dollar
seharusnya 7500 menjadi 9500, pemerintah melakukkan itu semua dengan harapan
permintaan negara menjadi lebih banyak karena eksport meningkat dan nilai
imortmenjadi lebih mahal karena nilai rupiah terhadap dollar melemah.
Pada Periode Pelita
IV pemerintah menerapkan beberapa kebijakan diantarnya
kebijakan dalam meningkatkan eksport import non
migas hal tersebut diatur dalam kebijakan INPRES No. 4 Tahun 1985. Kebijakan
dalam meningkatkan sektor swasta bidang eksport dan bidang penanaman modal yang
diatur dalam PAKEM 6 mei 1986.
Kebijakan
Devaluasi 1986 karena harga minyak dunia jatuh sehingga penerimaan pemerintah
menurun, untuk meningkatkan penerimaan kembali pemerintah menerapkan sistem
devaluasi mata uang rupiah terhadap dollar asing. Kebijakan 25 oktober 1986
pemerintah membuat Kebijakan mengenai Deregulasi perdagangan, moneter, dan
penanaman modal dimana bea masuk untuk komoditi bahan baku dan penolong
diturunkan dari tarif normal, serta penerapan kebijaksanaan penanaman modal.
Kebijakan 15 Januari 1987 pemerintah membuat Kebijakan mengenai peningkatan
efisiensi, inovasi dan produktivitas eksport pada sektor industri non migas.
Kebijakan 24 Desember 1987 (PAKDES) dimana pemerintah melakukan penataan ulang
struktur bidang perekonomian. Kebijakan 27 Oktober 1988 pemerintah membuat
kebijakan deregulasi untuk meningkat dana yang dikumpulkan pasar modal untuk
pembangunan. Kebijakan 21 November 1988 (PAKNOV), Pemerintah melakukan
deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan dan hubungan Laut. Kebijaksanaan
20 Desember 1988 (PAKDES), memberikan keleluasaan bagi pasar modal dan
perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif. Pada Periode
Pelita V Pemerintah lebih memfokuskan kepada pengawasan, pengendalian, dalam
rangka menuju rencana pembangunan jangka panjang tahap kedua. Kebijakan pemerintah pada periode ini lebih diarahkan
kepada proses perbaikan dan pembersihan pada semua sektor dari unsur-unsur
peninggalan pemerintah Orde Lama, terutama dari paham komunis. Pada masa
ini juga diisi dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengupayakan penurunan
tingkat inflasi dari +/- 650% menjadi +/- 10%.
b. Periode
Pelitaa I
v Kebijaksanaan
paa periode ini dimulaidengan: Peraturan Pemerintah No.16 Tahun1970, mengenai
penyempurnaan tata niaga bidang eksport dan import.
v Peraturan
Agustus 1971, mengenai devaluasi mata uang rupiah terhadap dolar, dengan
sasaran pokoknya yaitu;
· Kestabilan haga bahan pokok
· Peningkatan nilai ekspor
· Kelancaran impor
· Penyebaran barang di dalam negeri
c. Periode
Pelita II
Pada
periode ini diisi denga kebijaksanaan mengenai perkreditan untuk mendorong para
eksportir
kecil dan menengah disamping untuk mendorong kemajuan pengusaha
kecil/ekonomi
lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil (KIK)
d. Periode
Pelita III
Periode
ini diwarnai dengan devisitnya neraca perdagangan Indonesia, yang disebabkan
karena
diterapkannya tindakan proteksi dua kuota oleh negara-negara pasaran komoditi
ekspor
Indonesia.adapun kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang sempat
dikeluarkan
dalam periode ini adalah:
· Paket Januari 1982
· Paket kebijaksanaan imbal beli
· Kebijaksanaan Devaluasi 1983
e. Periode Pelita IV
Beberapa
kebijaksanaan pemerintah yang lahir dalam periode ini adalah:
· Kebijaksanaan
INPRES No.4 Tahun 1985, kebijaksanaan ini dilatar belakangi oleh keinginan
untuk meningkatkan ekspor non-migas.
· Paket
kebijaksanaan 6 Mei 1968 (PAKEM), bertujuan untuk mendorong sektor swasta
di bidang ekspor maupun di bidang
penanaman modal.
· Pket
devaluasi 1986, tindakan ini ditempuh karna jatuhnya harga minyak di pasaran
dunia yang mengakibatkan penerimaan
pemerintah turun.
· Paket
kebijaksanaan 25 Oktober 1986, merupakan deregulasi di bidang perdagangan,
moneter, dan penanaman modal.
· Paket
kebijaksanaan 15 Januari 1987, dengan melakukan peningkatan efisiensi,
inovasi, dan produktivitas beberapa
sektor industri (menengah ke atas) dalam rangka
meningkatkan ekspor migas.
· Paket
kebijaksanaan 24 Desember 1987 (PAKDES), dengan melakukan restrukturisasi
bidng ekonomi , terutama dalam usaha
memperancar perijinan (deregulasi)
· Paket
27 Oktober 1988, kebijaksanaan deregulasi untuk menggairahkan pasar odal dan
untuk menghimpun dana masyarakat guna biaya pembangunan.
· Paket
kebijaksanaan 21 November 1988 (PAKNOV), dengan melakukan deregulasi
dan debirokratisasi di bidang
perdagangan dan hubungan laut.
· Paket
kebijaksanaan 20 Desember 1988 (PAKDES) kebijaksanaan di bidang keuangan
dengan memberikan keluasan bagi
pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan
aktivitas yang lebih produktif.
f. Periode Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April
1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri.
Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi
rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan
gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding
sebelumnya.
1.
2. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter pada dasarnya
merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal
(pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan
keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya
tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur
dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional
yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka
kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh
kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang
kemudian ditransfer pada sektor riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan
tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank
Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan
uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai
kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan
moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada
instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi
dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam
uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah
atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu :
a. Kebijakan
Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka
menambah jumlah uang yang edar.
b. Kebijakan
Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat
(tight money policy).
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan
moneter, yaitu antara lain :
a. Operasi
Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara
mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga
pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar,
pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah
uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga
pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya
adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau
singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
b. Fasilitas
Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan
jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank
umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam
ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan
tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi
membuat uang yang beredar berkurang.
c. Rasio
Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur
jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang
harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah
menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar,
pemerintah menaikkan rasio.
d. Himbauan
Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan
moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada
pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk
berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan
menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak
jumlah uang beredar pada perekonomian.
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal
7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan
nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa
yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005
Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai
sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut
sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai
tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh
karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk
mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan
nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia
memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan
sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan
utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara
operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan
instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik
rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan
wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat
melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Kebijakan
Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang
dilakukan pemerintah dengan cara meningkatkan atau menurunkan pendapatan Negara
atau belanja Negara dengan tujuan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat
pendapatan nasional. Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat
pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan
pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan
cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal
adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan
pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-variabel berikut:
Pola persebaran sumber daya.
v
Distribusi
pendapatan
a. Fungsi Kebijakan Fiskal
Fungsi kebijakan fiscal adalah untuk
memperbaiki keadaan ekonomi, mengusahakan kesempatan kerja (mengurangi
pengangguran), dan menjaga kestabilan harga-harga secara umum.
b. Macam-macam Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiscal terbagi atas dua macam, yaitu:
c. Kebijakan fiscal stabilisator otomatis.
Adalah kebijakan sebagai alat stabilisasi
kegiatan ekonomi, peralatan tersebut adalah pajak dan pengeluaran
yang dikategorikan
dalam transfer payment.
Kebijakan ini terbagi dua:
• Perubahan penerimaan pajak otomatis.
• Tunjangan pengangguran dan pembayaran transfer.
d. Kebijakan fiscal diskresioner.
Adalah kebijakan fiscal yang digunakan
pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi yang sedang di hadapi dan langkah- langkah pemerintah untuk
mengubah pengeluaran/pemungutan pajak.
Kebijakan tersebut bertujuan: mengurangi gerak
naik turun tingkat kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menciptakan tingkat
kegiatan ekonomi, dengan tingkat kesempatan kerja tinggi.
4. Kebijakan
Fiskal dan Moneter di Sekitar Luar Negeri
a.
Kebijakan Fiskal (Definisi, Dimensi
Politik, dan Contoh Kasus)
v Definisi Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan
atau pemilihan instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan
dalam bidang penerimaan serta pengeluaran pemerintah. Subjek kebijaksanaan
fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah dengan segala aspeknya termasuk
aspek hukum, aspek politik, dan lain-lain. Perubahan tingkat komposisi
pengaturan pengeluaran dan penerimaan dapat berdampak pada variable-variabel
perekonomian yaitu agregat permintaan dan tingkat kegiatan ekonomi; pola
alikasi sumber daya; dan distribusi sumberdaya. Kebijakan fiskal sebenarnya
merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber
penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.
Instrumen kebijakan fiskal adalah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Contoh sederhananya adalah apabila kita
mengubah besar kecilnya pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika
pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan
industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak
akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara
umum. Tapi, hal ini tidak selalu mutlak tergantung situasi dan kondisi dalam
masyarakat tersebut.
Terkait dengan penganggaran
kebijakan fiskal dapat dibagi menjadi tiga. Pertama anggaran defisit (Defisit
Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif. Anggaran defisit adalah kebijakan
pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi
stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi
sedang resesif. Kedua Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal
Kontraktif. Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat
pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran
surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai
memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Ketiga Anggaran
Berimbang (Balanced Budget). Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah
menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran
berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
v
Dimensi Politik Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal berhubungan dengan
pengaturan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Dalam suatu pengelolaan atau
pembentukan kebijakan, dalam hal ini kebijakan fiskal, mulai dari perumusan
suatu kebijakan, formulasi kebijakan, sampai pada implementasi dan evaluasi tak
luput dari aspek-aspek politik yang ada. Disamping karena konsep kebijakan itu
sendiri merupakan salah satu konsep dari Ilmu politik, yang paling menonjol
dimensi politiknya adalah bagaimana kebijakan fiskal itu bisa terbentuk.
Interaksi-interaksi aktor dalam pembentukan kebijakan ini lah sebagai dimensi
politik kebijakan fiskal, bagaiman suatu kumpulan angka-angka dan
rencana-rencana yang ada diperdebatkan. Tentu semua aktor mempunyai kepentingan
dalam suatu pengaturan tersebut.
Dalam konteks Indonesia, salah satu
benutuk kebijakan fiskal adalah pengelolaan anggaran, dimana eksekutif
mengajukan rancangan suatu anggaran ke legislatif (DPR), kemudia dalam DPR ini
lah suatu rancangan itu dibahas untuk di sahkan. Disini berbagai kepentingan
bertemu untuk saling bertransaksi. Dalam kebanyakan kasus apabila sudah
tercapai kesepakatan nilai-nilai antar aktor yang tercermin dalam suatu
pembahasan draft kebijakan, maka barulah suatu kebijakan tersebut terbentuk.
Contoh
Kasus
Akibat dari krisis ekonomi 1998 yang
menyebabkan sektor riil macet dan hiperinflasi, Utang Indonesia pada tahun 2000
mencapai Rp 1.226,1 triliun atau sekitar 96%dari PDB. Meningkatnya beban utang
tersebut hampir seluruhnya ditimbulkan karena utang dalam negeri dengan jumlah
yang besar sebagai akibat dari upaya kita untuk menyelamatkan sektor pebankan
yang kacau akibat krisis. Jumlah utang dalam negeri terakumulasi sebesar Rp 643
triliun, yang ditimbulkan akibat tiga kebijakan pokok atau kebijakan fiskal
yang diambil dari pihak pemerintah untuk menopang perbankan nasional selama
krisis, diantaranya adalah kebijakan BLBI, kebijakan penjaminan bank, kebijakan
rekapitalisasi.
Kebijakan BLBI, untuk mengatasi situasi darurat berupa kelangkaan
likuiditas yang akut sebagai akibat dari arus dana keluar yang tidak terbendung
dan makin membesar dalam perekonomian. Kebijakan penjaminan bank, untuk
mengatasi krisis kepercayaan, dengan memberikan jaminan penuh kepada nasabah
dan kepada mereka yang bertransaksi dengan bank. Rekapitalisasi Bank, selanjutnya
adalah bagaimana membuat agar bank-bank yang tersisa setelah gelombang proses
penutupan pada tahun 1998-1999 dapat beroperasi secara normal.
b. Kebijakan Moneter (Definisi, Dimensi Politik, dan Contoh
Kasus)
v
Definisi Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah proses
mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti
menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter
dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement",
kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir
atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya
merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal
(pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan
keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya
tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur
dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional
yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka
kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi).
Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan,
yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan
tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank
Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan
uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai
kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.
Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas
pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi
dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam
uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia
memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan
sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan
utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara
operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan
instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik
rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan
wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat
melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
v Dimensi Politik Kebijakan Moneter
Pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan kebijakan fiskal. Suatu kebijakan sendiri itu merupakan salah satu
konsep dari Ilmu Politik. Mengenai kebijakan moneter dengan keterbatasan
anggaran yang, atas dasar apa kebijakan itu dibuat, misalnya adalah dalam hal
mengeset standart bungan pinjaman, atau dalam hal bantuan liquiditas. Tentu
aspek-aspek politik tak terlepas dalam penentuan tersebut. Kebijakan monter
berperan dalam menstabilkan perekonomian, sektor yang terlebi dahulu merasakan
adalah sektor perbankan yang kemudian di transfer ke sektor riil yang baik
secara langsung dan tidak langsung pasti terpengaruhi atau dipengaruhi oleh
situasi politik yang ada.
Contoh
Kasus Kebijakan Moneter
Krisis ekonomi tahun 2008 yang
dialami Amerika merupakan suatu fenomena yang begitu besar yang dampaknya
menyebar ke berbagai negara lain. Dalam konteks perbankan Indonesia, Pemerintah
perlu berhati-hati, karena tidak ada yang dapat memperkirakan dalam dan luasnya
krisis keungan global ini. Dampak yang paling dirasakan adalah nilai tukar
Rupiah. Adanya penarikan dana besar-besaran dalam valas (khususnya USD) oleh
lembaga keuangan kreditor dan investor di Amerika Serikat menyebabkan kenaikan
yang cukup besar terhadap permintaan valas (khususnya USD). Rupiah pun
mengalami depresiasi yang sangat tajam terhadap USD. Bahkan, nilai tukar Rupiah
sempat mencapai Rp. 12.900/USD pada November 2008.
Melemahnya nilai tukar Rupiah
terhadap USD tentu saja sangat memberatkan aktivitas impor Indonesia, terutama
impor barang elektronik, komoditas pertanian, ataupun barang otomotif yang
harganya menjadi lebih mahal. Sektor produksi juga terpengaruh dikarenakan
pembelian alat-alat produksi impor yang semakin mahal dan juga pembayaran dari
hutang-hutang yang jatuh tempo. Di sisi ekspor, meskipun Dollar menguat
terhadap Rupiah, bukan berarti hal tersebut mutlak menggembirakan karena
meskipun harga barang ekspor lebih murah, daya beli negara tujuan (AS) pun
melemah karena bank dan sumber pembiayaan di AS mengalami kesulitan likuiditas
sehingga tidak dapat menyalurkan kredit dengan lancar.
Menyikapi permasalahan ini,
Pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan beberapa serangkaian kebijakan
untuk mengurangi kekhawatiran/ketidakpercayaan publik terhadap kapabilitas dan
likuiditas bank-bank nasional. Salah satu kebijakan moneter yang diambil
pemerintah saat itu adalah dengan penaikkan BI rate menjadi 9,5% untuk
mengantisipasi depresiasi terhadap nilai Rupiah dengan meningkatkan
atraktifitas investasi dalam nilai Rupiah akibat spread bunga domestik dan luar
negeri yang cukup tinggi.
5. Kebijakan
Subsidi BBM
Belakangan beredar berita tentang
kebijakan pemerintah yang akan membatasi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM)
terutama premium untuk kalangan pengguna sepeda motor. Kebijakan yang diambil
pemerintah ini tak lain dan tak bukan adalah karena dilatarbelakangi oleh
program konversi minyak tanah ke gas yang telah berjalan dengan baik. Kemudian
rencana pembatasan subsidi BBM inilah tindak lanjut dari program konversi
tersebut yang kali ini adalah konversi penggunaan bahan bakar kendaraan
bermotor dari premium ke pertamax, yang sebagaimana kita ketahui pertamax
adalah salah satu Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tidak disubsidi oleh pemerintah
sehingga harga pertamax sangat mahal yakni berkisar antara Rp 7.350 – Rp 7.400
per liter. Harga tersebut jika dibandingkan dengan harga premium (bensin)
memang terbilang cukup jauh, yakni untuk sementara pada tahun 2010 ini harga
premium masih berkisar antara Rp 4.500/liter (Harga SPBU atau harga resmi)
sampai dengan Rp 5.000/liter (Harga Eceran). Hal inilah yang menyebabkan
banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat terhadap kebijakan
pemerintah yang baru tahap rencana ini dan mungkin akan segera diujicobakan
pada bulan Agustus 2010 mendatang. Yang lebih mengherankan adalah keputusan
pemerintah yang akan melarang kendaraan bermotor roda dua untuk mengonsumsi
bahan bakar bersubsidi jenis premium secara bertahap di Pulau Jawa (Solopos, 27
Mei 2010). Walau hal tersebut untuk saat ini masih dalam tahap rencana tetapi
jika hal tersebut benar – benar terealisasi, maka akan banyak pihak yang merasa
dirugikan dari kebijakan tersebut.
Kebijakan Pemerintah akan pembatasan
subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan mengalihkan penggunaan bahan bakar
kendaraan bermotor dari premium (bensin) ke pertamax merupakan sebuah keputusan
yang sangat berani dari pemerintah, sebab kebijakan pemerintah tersebut “Bagai
buah simalakama” maksudnya diambil atau tidaknya kebijakan ini tetap akan
menimbulkan kerugian semua pihak. Jika kebijakan pemerintah tersebut benar –
benar akan terealisasi, maka dipastikan akan banyak gelombang penolakan dan
hujan protes dari berbagai kalangan yang mengalami kerugian karena pengambilan
kebijakan tersebut, tetapi jika tidak akan direalisasikan negeri ini juga akan
mengalami kerugian dalam jangka pendek dan jangka menengah. Pada intinya
masalah yang timbul di masa yang akan datang adalah banyaknya dampak yang akan
ditimbulkan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah ini, baik dampak positif
maupun dampak negatif.
Dikeluarkannya rencana kebijakan ini
oleh pemerintah memang bukanlah sesuatu yang berbau spekulatif (untung –
untungan), dalam hal ini pemerintah memiliki alasan kuat mengapa harus
mengeluarkan kebijakan yang sebagian kalangan menganggap kebijakan yang konyol
ini. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah menyangkut tentang masalah
keuangan Negara (APBN), masalah Sumber Daya Alam, hingga masalah lingkungan.
Pemerintah beranggapan bahwa kebijakan pembatasan subsidi BBM ini bertujuan
untuk menjaga konsumsi BBM bersubsidi agar tidak melampaui kuota anggaran APBN-P
2010 sebesar 36,5 juta kiloliter (Solopos, 29 Mei 2010). Hal tersebut mungkin
dapat dibenarkan karena jika pemerintah terus – menerus mengeluarkan biaya
untuk menyubsidi BBM dapat dipastikan lama kelamaan keuangan Negara juga akan
ikut goyah karena biaya yang dianggarkan di APBN juga tidak sedikit. Jumlah
anggaran juga akan ikut membengkak jika penggunaan bahan bakar naik secara
signifikan. Penggunaan bahan bakar ini berbanding lurus dengan jumlah kendaraan
yang ada sekarang ini, artinya dengan meningkatnya jumlah kendaraan di
Indonesia juga mempengaruhi peningkatan penggunaan bahan bakar. Sementara sejak
tahun 2001 jumlah penggunaan sepeda motor semakin meningkat sampai dengan tahun
2009.
Dari diagram diatas dapat terlihat
bahwa jumlah produksi dan penjualan meningkat dan dengan demikian dapat
diasumsikan pula terjadi peningkatan terhadap penggunaan bahan bakar pada
kendaraan bermotor roda dua. Alasan kedua dari diambilnya kebijakan pemerintah
ini yakni semakin menipisnya cadangan bahan bakar jenis premium, sehingga
memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan tersebut. Menurut Menteri dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh mengatakan bahwa selama ini
sektor transportasi merupakan konsumen terbesar yang menikmati subsidi BBM
bersubsidi mencapai 90% dari kuota yang ditetapakan pemerintah secara
keseluruhan (Solopos, 29 Mei 2010). Alasan ketiga yang dikemukakan oleh
pemerintah adalah bersangkutan tentang masalah emisi gas buang, alasannya jika
kendaraan bermotor menggunakan pertamax maka dimungkinkan emisi yang
dikeluarkan akan lebih kecil dari kendaraan bermotor yang menggunakan bensin
(walaupun pada kenyataannya emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor
berbahan bakar bensin untuk sekarang ini sebenarnya sudah sangat kecil).
Jika dilihat jangka panjang, rencana
kebijakan pemerintah tersebut dapat dibilang cukup baik, namun untuk jangka
pendek dan jangka menengah mungkin akan menuai banyak permasalahan. Dalam hal
ini yang paling dirugikan dari munculnya masalah tersebut adalah masyarakat menengah
ke bawah, karena sebagian besar pengguna sepeda motor adalah masyarakat pada
level menengah ke bawah. Oleh sebab itu, jika pemerintah jadi membatasi bahkan
menghapus subsidi BBM bagi kendaraan bermotor roda dua, maka masyarakat yang
memiliki taraf perekonomian menengah ke bawah akan mengalami banyak kendala
dalam kegiatan perekonomian mereka, karena masyarakat kelas menengah ke bawah
pada umumnya menggunakan kendaraan roda dua mereka untuk kegiatan perekonomian
mereka, misalnya saja sepeda motor yang digunakan untuk bekerja atau mencari
nafkah (ojek, berjualan keliling, dan sebagainya). Dengan demikian tampak
ketidaktepatan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini, karena hal tersebut
bisa memperburuk perekonomian dalam negeri yang mungkin saja akan mengalami
kelumpuhan dalam berbagai sektor. Anggota Komisi VII dari fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) Nur Yasin yang juga menolak dengan kebijakan
pemerintah untuk pembatasan subsidi BBM bagi kendaraan roda dua ini mengatakan
justru kelompok pengguna kendaraan roda dua inilah yang harus mendapatkan
suntikan subsidi dari pemerintah guna menjaga pertumbuhan ekonomi
(Jurnalparlemen.com, 29 Mei 2010). Beliau juga mengatakan bahwa sebenarnya 70%
pengguna BBM bersubsidi saat ini dinikmati oleh kalangan menengah keatas untuk
konsumsi bahan bakar mobil pribadi mereka yang jauh diatas konsumsi kendaraan
bermotor. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Wakil Ketua AISI
(Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia) Johannes Loman yang menegaskan dalam
Koran harian Solopos (27 Mei 2010), saat ini konsumsi BBM jenis premium oleh
sepeda motor jumlahnya tak sebanding dengan konsumsi mobil, ia juga mengatakan
bahwa satu mobil itu setara dengan 10 motor dalam konsumsi BBM.
Itulah dua sisi yang satu sisi
menguntungkan namun disisi lainnya juga merugikan beberapa pihak. Seperti yang
telah diungkapkan pada awal tulisan ini, jika dalam peribahasa keadaan ini
disebut “Bagai Buah Simalakama” artinya jika pemerintah mengambil kebijakan
maka akan menimbulkan masalah (kerugian), tetapi juga tidak diambil juga akan
menimbulkan masalah (kerugian) pula. Namun, tidak ada masalah yang tidak dapat
diselesaikan, semua pasti akan ada jalan keluarnya. Salah satu dari jalan
keluar yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah kebijakan pemerintah dalam
membatasi subsidi BBM kepada kendaraan roda dua ini ada dua kemungkinan yang
bisa diambil. kemungkinan pertama jika pemerintah benar – benar akan
merealisasikan rencana kebijakan tersebut maka pemerintah harus menyamakan atau
menyetarakan antara harga premium dan harga pertamax, kemudian kemungkinan
kedua adalah jika pemerintah membatalakan kebijakan yang telah direncanakannya,
maka pemerintah harus menurunkan harga pertamax dan menaikkan harga premium
tetapi tidak signifikan. Dengan diberlakukannya harga yang sama antara bensin
dan pertamax maka masyarakat bisa memilih sendiri mana yang akan dipakai,
maksud dari hal ini adalah agar masyarakat tidak merasa ditekan atau dipaksa
terhadap keputusan pemerintah. Dengan pemberlakuan harga yang sama ini juga
diharapkan masyarakat dapat berpindah ke pertamax secara perlahan – lahan,
karena pada umumnya sifat konsumsi masyarakat Indonesia adalah menginginkan
harga murah dengan kualitas tinggi. Jika hal tersebut benar, dimungkinkan
masyarakat akan berpindah ke pertamax yang tentu saja kualitasnya lebih baik
(lebih baik dari pada premium) yakni angka oktan yang dimiliki pertamax
berkisar antara 92 – 95 sedangkan premium 82, tetapi hal ini harus diikuti
dengan penyetaraan antara harga premium dan pertamax. Namun, dari semua proses
yang ada, terdapat satu hal yang tidak boleh terlupakan dan merupakan syarat
wajib dalam mensukseskan setiap kebijakan pemerintah yakni sosialisasi.
Pemerintah wajib hukumnya untuk mensosialisasikan kebijakan ini kepada masyarakat.
Sosialisasi ini dirasa penting sehubungan dengan adanya paradigma yang banyak
muncul yakni ketakutan masyarakat terhadap penggunaan pertamax untuk bahan
bakar sepeda motor mereka, karena banyak rumor yang mengatakan penggunaan
pertamax untuk sepeda motor dapat menyebabkan sepeda motor menjadi sangat cepat
panas dan dapat menimbulkan kerusakan kepada motor. Colin Latung (konsultan
perminyakan dari URS Indonesia) dalam Motorplus-Online mengatakan bahwa
kompresi pada sepeda motor berbanding lurus dengan angka oktan, jadi kompresi
harus diimbangi dengan oktan yang tinggi. Kemudian menurut beliau kalau tetap
memaksakan motor dengan kompresi tinggi menggunakan oktan rendah, piston akan
jebol. Dampaknya biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih besar. Mengubah penggunaan
premium tergantung kompresi sepeda motor. Untuk sepeda motor 4-tak lokal
umumnya memiliki kompresi berkisar antara 9:1 sampai 9,3:1. Bahkan motor 4-tak
impor memiliki kompresi hingga 10,2:1. Dalam keadaan standart sepeda motor
jenis 4-tak sebenarnya sudah mampu untuk penggunaan sepeda motor karena antara
angka oktan pertamax dengan kompresi sepeda motor memiliki tingkat kesesuaian
yang baik. Berikut tabel perbandingan antara angka oktan dan kompresi
No.
|
Jenis
Bahan Bakar
|
Angka
Oktan
|
Kompresi
|
1.
|
Pertamax Plus
|
95
|
10:1 – 11:1
|
2.
|
Pertamax
|
92
|
9:1 – 10:1
|
3.
|
Premium
|
82
|
7:1 – 9:1
|
Sumber : Motorplus-Online
Dalam tabel tersebut juga dapat
dilihat premium sebenarnya hanya cocok sepeda motor 2-tak saja karena kompresi
yang dimilikinya lebih rendah dari sepeda motor 4-tak yakni 7,2:1. Hal inilah
yang seharusnya lebih disosialisasikan oleh pemerintah jika kebijakan untuk
membatasi konsumsi BBM bersubsidi dan menggantinya ke pertamax ini benar –
benar akan terealisasikan, agar masyarakat tidak mengalami ketakutan yang
berlebihan terhadap perpindahan bahan bakar sepeda motor mereka dari premium ke
pertamax.
Sumber: