Minggu, 30 Juni 2013

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI


Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian sengketa, cara-cara penyelesaian sengketa dan cara litigasi/Alternative Dispute Resolution (ADR). Melalui bahasan bab ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan sengketa ekonomi dan cara-cara penyelesaian sengketa ekonomi

1. Pengertian dan Urgensi Alternatif Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara konvensional dilakukan melalui sebuah badan yang disebut dengan pengadilan. Sudah sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun badan-badan pengadilan ini telah berkiprah. Akan tetapi, lama kelamaan badan pengadilan ini semakin terpasung dalam tembok yuridis yang sukar ditembusi oleh para justitiabelen (pencari keadilan), khususnya jika pencari keadilan tersebut adalah pelaku bisnis, dengan sengketa yang menyangkut dengan bisnis ekonomi. Maka mulailah dipikirkan alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa,
diantaranya adalah lewat badan arbitrase.
Semula memang badan-badan penyelesaian sengketa yang bukan pengadilan ini mendapat reaksi dari berbagai pihak dengan tuduhan sebagai peradilan sempalan. Namun kemudian, sejarah juga membuktikan bahwa memang ada kebutuhan yang nyata terhadap alternatif penyelesaian sengketa yang bukan pengadilan, sehingga dewasa ini badan-badan alternatif penyelesaian sengketa sudah diterima secara oleh hukum dimanapun. Arbitrase penyelesaian sengketa, khususnya sengketa ekonomi, yang sangat populer adalah penyelesaian sengketa lewat lembaga arbitrase (nasional maupun internasional).
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata yang bersifat swasta di luar pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dimana pihak penyelesai sengketa (arbriter) tersebut dipilih oleh para pihak yang bersangkutan, yang terdiri dariorang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orangorang mana akan memeriksa dan memberi putusan terhadapa sengketa tersebut.
Orang yang bertindak untuk menjadi penyelesai sengketa dalam arbitrase disebut dengan arbriter. Arbiter ini, baik tunggal maupun majelis yang jika mejelis terdiri dari 3 (tiga) orang. Di Indonesia syarat-syarat untuk menjadi arbiter adalah sebagi berikut:
  1. Cakap dalam melakukan tindakan hukum.
  2. Berumur minimal 35 tahun.
  3. Tidak mempunyai hubungan sedarah atau semnda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa.
  4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atar putusan arbitrase.
  5. Mempunyai pengalaman atau menguasai secara aktif dalam bidangnya paling sedikit 15 tahun.
  6. Hakim, jaksa, panitera dan pejabat lainnya tidak boleh menjadi arbriter.
Arbitrase (nasional maupun internasional) menggunakan prinsip-prinsip hukum sebagai berikut:
  1. Efisien.
  2. Accesbility (terjangkau dalam artinya biaya, waktu dan tempat).
  3. Proteksi hak para pihak.
  4. Final and Binding.
  5. Adil (Fair nad Just).
  6. Sesuai dengan sense of jutice dalam masyarakat.
  7. Kredibilitas. Jika arbiter memiliki kredibilitas maka putusannya akan dihormati orang.
2. Model-Model Alternatif Penyelesaian Sengketa
Seperi telah disebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa ekonomi (selain pengadilan) yang paling populer adalah lembaga arbitrase. Akan tetapi, selain arbitrase masih banyak alterantif lain dari penyelesaian sengketa. Berikut ini beberapa model penyelesaian sengketa selain pengadilan, yaitu sebagai berikut:
  1. Arbitrase
  2. Negosiasi
  3. Mediasi
  4. Konsiliasi
  5. Pencari Fakta
  6. Minitrial
  7. Ombudsman
  8. Penilaian Ahli
  9. Pengadilan Kasus Kecil (Small Claim Court)
  10. Peradilan Adat
3. Berbagai Macam Arbitrase
Untuk menyelesaiakan berebagai sengketa ekonomi, arbitrase adalah penyelesaian sengketa alternatif yang sering dipergunakan. Akan tetapi, dalam praktik terdapat berbagai macam arbritrase, yaitu sebagai berikut:
  1. Arbitrase Meningkat
  2. Arbitrase Tidak Meningkat
  3. Arbitrase Kepentingan
  4. Arbitrase Hak
  5. Arbitrase Sukarela
  6. Arbitrase Wajib
  7. Arbitrase Ad Hoc
  8. Arbitrase Lembaga
  9. Arbitrase Nasional
  10. Arbitrase Internasional Teknis
  11. Arbitrase Kualitas
  12. Arbitrase Teknis
  13. Arbitrase Umum
  14. Arbitrase Bidang Khusus
4. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase
Penyelesaian sengketa dengan suatu arbitrase mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan-kelebihan dari suatu arbitrase adalah sebagai berikut:
  • Prosedur tidak berbelit sehingga putusan akan cepat didapat.
  • Biaya yang lebih murah.
  • Putusan tidak diekspos di depan umum
  • Hukum terhadap pembuktian dan prosedur lebih luwes.
  • Para pihak dapat memilih hukum mana yang diberlakukan oleh arbitrase.
  • Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter.
  • Dapat dipilih arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya.
  • Putusan dapat lebih terikait dengan situasi dan kondisi.
  • Putusan umumnya inkracht (final dan binding).
  • Putusan arbitrase juga dapat dieksekusi oleh pengadilan, tanpau atau ada dengan sedikit review.
  • Prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat banyak.
  • Menutup kemungkinan forum shopping (mencoba-coba untuk memilih atau menghindari pengadilan).
Disamping kelebihan-kelebihannya, penyelesaian sengketa lewat arbitrase banyak juga kelemahannya. Kelemahan–kelemahan tersebut adalah sebagai beikut:
  • Tersedia baik untuk perusahaan-perusahaan besar, tetapi tidak untuk persahaan kecil.
  • Due process kurang terpenuhi.
  • Kurangnya unsur finality.
  • Kurangnya power untuk menggiring para pihak ke settlement.
  • Kurangnya power dalam hal law enforcement dan eksekusi.
  • Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti atau saksi.
  • Dapat menyenbunyikan dispute dari public scrutiny.
  • Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif.
  • Putusan tidak dapat diprediksi dan ada kemungkinan timbulnya putusan yang saling bertentangan.
  • Kualitas putusan sangat bergantung pada kualitas arbiter (an arbitration is a good as arbitrators).
  • Berakibat kurangnya semangat dan upaya untuk memperbaiki pengadilan konvensional.
  • Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan dan hujatan terhadap badan badan pengadilan konvensional.



5. Prosedur Arbitrase
Suatu prinsip penting dalam prosedur beracara arbitrase adalah bahwa prosedur tersebut sederhana, cepat dan murah, yakni harus lebih sederhana, lebih cepat dan lebih murah dari prosedur pengadilan biasa.
Pokok-pokok prosedur beracara diarbitrase adalah sebagai berikut:
  • Permohonan arbitrase oleh pemohon.
  • Pengangkatan arbiter.
  • Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon.
  • Penyampaian 1 (satu) salinan putusan kepada termohon.
  • Jawaban tertulis dari termohon diserahkan kepada arbiter.
  • Salinan jawaban diserahkan kepada termohon atas perintah arbiter.
  • Perintah arbriter agar para pihak menghadap arbitrase.
  • Para pihak menghadap arbiter.
  • Tuntutan balasan dari pemohon.
  • Pemanggilan lagi jika termohon tidak menghadap tanpa alasan yang jelas.
  • Jika termohon tidak datang juga menghadap sidang, pemeriksaan diteruskan tanpa kehadiran termohon (verstek) dan tuntutan dikabulkan jika cukup alasan untuk itu.
  • Jika termohon hadir, diusahakan perdamaian oleh arbiter.
  • Proses pembuktian.
  • Pemeriksaan selesai dan ditutup (maksimum 180 hari sejak arbitrase terbentuk).
  • Pengucapan putusan.
  • Putusan diserahkan kepada para pihak.
  • Putusan diterima oleh para pihak.
  • Koreksi, tambahan, pengurangan terhadap putusan.
  • Penyerahan dan pendaftaran putusan ke Pengadilan Negeri yang berwenang.
  • Permohonan eksekusi didaftarkan di panitera Pengadilan Negeri.
  • Putusan pelaksanaan dijatuhkan.
  • Perintah ketua Pengadilan Negeri jika putusan tidak dilaksanakan.
6. Eksekusi Putusan arbirtase
Agar suatu putusan arbitrase benar-benar bermanfaat bagi para pihak maka putusan tersebut harus dapat dieksekusi, eksekusi tersebut dapat dilakukan oleh badan pengadilan yang berwenang. Cara melakukan eksekusi terhadap suatu putusan arbitrase adalah sebagai berikut:
  • Eksekusi secara sukarela
Eksekusi secara sukarela adalah eksekusi yang tidak memerlukan campur tangan dari pihak ketua Pengadilan Negeri manapun, tetapi para pihak melaksanakan sendiri secara sukarela terhadap apa-apa yang telah diputuskan oleh arbitrase yang bersnagkutan
  • Eksekusi secara paksa
Eksekusi putusan arbitrase secara paksa adalah bilamana pihak yang harus melakukan eksekusi, tetapi secara sukarela tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan upaya-upaya paksa. Dalam hal ini campur tangan pihak pengadilan diperlukan, yaitu dengan memaksa para pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan tersebut. Misalnya, dengan melakukan penyitaan-penyitaan. Namun demikian, pengadilan yang berwenang dapat menolak suatu permohonan pelaksanaan putusan arbitrase jika ada alasan untuk itu. Terhadap penolakan tersebut, tersedia upaya kasasi. Sedangkan terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase tidak tersedia upaya hukum apapun. Alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan (dalam hal ini ketua pengadilan) untuk penolakan eksekusi putusan arbitrase adalah sebagai berikut:
ü      Arbiter memutus melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya.
ü      Putusan arbitrase bertentangan dengan kesusilaan.
ü      Putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban umum.
ü      Keputusan tidak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  • Sengketa tersebut mengenai perdagangan.
  • Sengketa tersebut mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
  • Sengketa tersebut mengenai hal-hal menurut hukum dapat dilakukan perdamaian.
7. Kontrak Arbitrase
Dengan kontrak arbitrase ini yang dimaksudkan adalah suatu kesepakatan (sebelum atau setelah terjadinya sengketa) diantara para pihak yang bersengketa untuk membawa ke arbitrase setiap sengketa yang timbul dari suatu bisnis yang terbit dari transaksi tertentu.
Adapun suatu prisip yuridis yang berlaku terhadap kontrak arbitrase yaitu Prinsip Seperabilitas. Prinsip seperabilitas (separability principle) ini mengajarkan bahwa suatu kontrak arbitrase atau klausula arbitrase secara hukum dianggap berdiri independen. Karena kedudukannya yang independen dari kontrak pokoknya, maka kontrak arbitrase tetap dianggap sah dan mempunyai kekuatan penuh meskipun karena suatu sebab kontrak pokoknya tidak sah atau batal. Jadi, independensi dari kontrak atau klausula arbitrase ini menimbulkan konsekuensi hukum tidak ikut batalnya kontrak/kalusula arbitrase meskipun terjadi hal-hal sebagai berikut:
  1. Kontrak pokoknya tidak sah, batal, dibatalkan atau masa berlakunya berakhir.
  2. Meninggalnya salah satu pihak.
  3. Pailitnya salah satu pihak.
  4. Novasi.
  5. Insolvensi salah satu pihak.
  6. Pewarisan.
  7. Berlakunya syarat-syarat hapusnya peikatan pokok.
  8. Jika pelaksanaan perjanjian tersebut dialihkan kepada pihak kitiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut.
Dalam hubungan dengan kontrak arbitrase terdapat istilah yang disebut dengan Pactum De Compromitendo. Yang dimaksud dengan Pactum De Compromitendo adalah suatu kesepakatan diantara para pihak terhadap pemilihan arbitrase yang dilakukan sebelum terjadinya perselisihan. Disamping itu, ada juga yang disebut dengan “Akta Kompromis” yaitu suatu kesepakatan penyelesaian sengketa dengan menggunakan saran arbitrase, kesepakatan mana dilakukan setelah adanya sengketa diantara para pihak.
Syarat-syarat agar suatu akta kompromis dapat mempunyai kekuatan hukum adalah sebagai berikut:
  1. Perjanjian haruslah dalam bentuk tertulis.
  2. Perjanjian tertulis tersbut harus ditandatangani oleh para pihak.
  3. Jika para piahak tidak dapat menandatanganinya, harus dibuat dalam bentukakta notaris.
  4. Akta tertulis tersebut haruslah berisikan muatan-muatan penting seperti:
1)     Masalah yang dipersengketakan.
2)     Identitas lengkap para pihak.
3)     Identitas arbiter yang dipilih.
4)     Jangka waktu penyelesaian sengketa.
5)     Pernyataan kesediaan dari arbiter.
6)     Pernyataan kesediaan para pihak untuk menanggung biaya.

8. Arbitrase Internasional
Arbitrase internasional adalah arbitrase lembaga maupun arbitrase ad-hoc, yang melibatkan pihak dari 2 (dua) negara yang berbeda. Jika arbitrase internasional tersebut merupakan suatu arbitrase lembaga, maka terdapat banyak arbitrase lembaga seperti itu di dunia ini, yakni arbitrase yang mengkhususkan diri untuk masalah-masalah internasional. Misalnya:
  1. International Chamber of Commerce (ICC).
  2. The International Centre for Settlement of Invesment Disputes (ICSID).
  3. London Court of International Dispute (LCID).
  4. Singapore International Arbitration Centre (SIAC)
Putusan arbitrasi internasional/asing dapat dieksekusi di Indonesia karena Indonesia telah mengakui dan tunduk kepada the New York Convention (10 Juni 1958), yang mewajibkan negara anggotanya untuk memberlakukan ketentuan yang mengakuiputusan arbitrase asing/internasional. Berlakunya New York Convention tersebut di Indonesia disahkan oleh Kepres Nomor 34 Tahun 1981, yang kemudian dikuatkan oleh Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
Menurut pedoman yang diberikan oleh United Nation Commissiom on International Trade Law (UNCITRAL), baru termasuk ruang lingkup arbitraseinternasional manakala memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Jika pada saat menandatangani kontrak yang menjadi sengketa, para pihak mempunyai tempat bisnis di negara yang berbeda, atau
  2. Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak arbitrase berada di luar tempat bisnis para pihak, atau
  3. Jika pelaksanaan sebagian besar dari kewajiban dalam kontrak berada di luar kontrak bisnis para pihak atau pokok sengketa sangat terkait dengan tempat yang berada di luar tempat bisnisnya para pihak, atau
  4. Para pihak dengan tegas telah menyetujui bahwa pokok persoalan dalam kontrak arbitrase berhubungan dengan lebih dari 1 (satu) negara.
Telah disebutkan bahwa putusan arbitrase internasional/asing dapat dieksekusi di Indonesia. Yang berwenang melakukan eksekusi putusan arbitrase internaional/asing tersebut adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memberikan suatu putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam bentuk “perintah pelaksanaan” yang dalam praktik dikenal dengan istilah “eksekuatur”.
Agar eksekusi tersebut dapat dijalankan, haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Berlaku asas resiprositas. Artinya, hukum di negara asal arbitrasi maupun hukum di negara asal pihak yang menang haruslah dapat juga memberlakukan putusan arbitrase Indonesia.
  2. Sengketa termasuk ke dalam ruang lingkup hukum dagang.
  3. Putusan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
  4. Mendapat eksekuatur dari ktua Pengadilan Negeri.
  5. Jika menyangku dengan negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak yang bersengketa, maka eksekuatur harus didapatkan dari Mahkamah Agung.
Sedangkan tahap-tahap dari eksekusi putusan arbitrase internasional/asing adalah sebagai berikut:
  1. Tahap penyerahan dan pendaftaran putusan.
  2. Tahap permohonan pelaksanaan putusan.
  3. Tahap perintah pelaksanaan oleh ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (eksekuatur).
  4. Tahap pelaksanaan putusan arbitrase.







ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT


Pengertian
Monopoli murni adalah bentuk organisasi pasar dimana terdapat perusahaan tunggal yang menjual komoditi yang tidak mempunyai subtitusi sempurna. Perusahaan itu sekaligus merupakan industri dan menghadapi kurva permintaan industri yang memiliki kemiringan negatif untuk komoditi itu.
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”.
Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengatur kegiatan bisnis yang baik dalam arti tidak merugikan pelaku usaha lain. Monopoli tidak dilarang dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi “rambu-rambu” atau aturan hukum persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara di dunia harus “rela” membuka pasar domestik dari masuknya produk barang/jasa negara asing dalam perdagangan dan pasar bebas. Keadaan ini dapat mengancam ekonomi nasional dan pelanggaran usaha, apabila para pelaku usaha melakukan perbuatan tidak terpuji. 
Asas dan Tujuan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut
  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
  3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
  4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
 Kegiatan yang Dilarang
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Menurut pasal 33 ayat 2 ” Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya
Perjanjian yang Dilarang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
  1. Oligopoli: keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
  2. Penetapan harga: dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain:
  • Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama
  • Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
  • Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
  • Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
  1. Pembagian wilayah: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
  2. Pemboikotan: Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
  3. Kartel: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
  4. Trust: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
  5. Oligopsoni: Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
  6. Integrasi vertical: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
  7. Perjanjian tertutup: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu
  8. Perjanjian dengan pihak luar negeri: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Hal-Hal yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu
  • Pasal 50
  1. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
  3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
  4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
  5. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
  6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
  7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
  8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
  9. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
  • Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut
  • Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
  • Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
  • Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat
  • Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
  • Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
  • Efisiensi alokasi sumber daya alam
  • Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
  • Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
  • Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
  • Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
  • Menciptakan inovasi dalam perusahaan
 Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif,
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
  • Pasal 48
    1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
    2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
    3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
  • Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
    1. pencabutan izin usaha; atau
    2. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
    3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
Sumber :